Saat kau bangun pagi hari, AKU memandangmu dan berharap engkau akan berbicara kepada KU, walaupun hanya sepatah kata meminta pendapatKU atau bersyukur kepada KU atas sesuatu hal yang indah yang terjadi dalam hidupmu hari ini atau kemarin ……
Tetapi AKU melihat engkau begitu sibuk mempersiapkan diri untuk pergi bekerja ……. AKU kembali menanti saat engkau sedang bersiap, AKU tahu akan ada sedikit waktu bagimu untuk berhenti dan menyapaKU, tetapi engkau terlalu sibuk ………
Disatu tempat, engkau duduk disebuah kursi selama lima belas menit tanpa melakukan apapun. Kemudian AKU Melihat engkau menggeerakkan kakimu. AKU berfikir engkau akan berbicara kepadaKU tetapi engkau berlari ke telephone dan menghubungi seorang teman untuk mendengarkan kabar terbaru.
AKU melihatmu ketika engkau pergi bekerja dan AKU menanti dengan sabar sepanjang hari. Dengan semua kegiatanmu AKU berfikir engkau terlalu sibuk mengucapkan sesuatu kepadaKU.
Sebelum makan siang AKU melihatmu memandang sekeliling, mungkin engkau merasa malu untuk berbicara kepadaKU, itulah sebabnya mengapa engkau tidak menundukkan kepalamu.
Engkau memandang tiga atau empat meja sekitarmu dan melihat beberapa temanmu berbicara dan menyebut namaKU dengan lembut sebelum menyantap rizki yang AKU berikan, tetapi engkau tidak melakukannya ……. masih ada waktu yang tersisa dan AKU berharap engkau akan berbicara kepadaKU, meskipun saat engkau pulang kerumah kelihatannya seakan-akan banyak hal yang harus kau kerjakan.
Setelah tugasmu selesai, engkau menyalakan TV, engkau menghabiskan banyak waktu setiap hari didepannya, tanpa memikirkan apapun dan hanya menikmati acara yg ditampilkan. Kembali AKU menanti dengan sabar saat engkau menonton TV dan menikmati makananmu tetapi kembali kau tidak berbicara kepadaKU ………
Saat tidur, KU pikir kau merasa terlalu lelah. Setelah mengucapkan selamat malam kepada keluargamu, kau melompat ketempat tidur dan tertidur tanpa sepatahpun namaKU, kau sebut. Engkau menyadari bahwa AKU selalu hadir untukmu.
AKU telah bersabar lebih lama dari yang kau sadari. AKU bahkan ingin mengajarkan bagaimana bersabar terhadap orang lain. AKU sangat menyayangimu, setiap hari AKU menantikan sepatah kata, do’a, pikiran atau syukur dari hatimu.
Keesokan harinya …… engkau bangun kembali dan kembali AKU menanti dengan penuh kasih bahwa hari ini kau akan memberiku sedikit waktu untuk menyapaKU …….Tapi yang?? KU tunggu …….. tak kunjung tiba ……tak juga kau menyapaKU.
Subuh …….. Dzuhur ……. Ashyar ………. Magrib ……… Isya dan Subuh kembali, kau masih mengacuhkan AKU ….. tak ada sepatah kata, tak ada seucap do’a, dan tak ada rasa, tak ada harapan dan keinginan untuk bersujud kepadaKU ……….
Apa salahKU padamu …… wahai UmmatKU????? Rizki yang KU limpahkan, kesehatan yang KU berikan, harta yang KU relakan, makanan yang KU hidangkan, anak-anak yang KUrahmatkan, apakah hal itu tidak membuatmu ingat kepadaKU …………!!!!!!!
Percayalah AKU selalu mengasihimu, dan AKU tetap berharap suatu saat engkau akan menyapa KU, memohon perlindungan KU, bersujud menghadap KU …… Yang selalu menyertaimu setiap saat ……..
Note: apakah kita memiliki cukup waktu untuk mengirimkan surat ini kepada orang2 yang kita sayangi??? Untuk mengingatkan mereka bahwa segala apapun yang kita terima hingga saat ini, datangnya hanya dari ALLAH semata
dari email mas Miko WIjanarko
0 comments
Assalamu’alaykum warahmatullah
Alhamdulillahi Rabbil’alamin
telah keluar surat terbuka kepada penulis “Surat Sayang dari Allah SWT”
Dapat dilihat di link berikut: http://bloghidayah.wordpress.com/2011/07/08/risalah-terbuka-untuk-penulis-artikel-surat-sayang-dari-allah-swt-catatan-akhir-pekan-part-9/
assalaamualaikum wr.wb
saya setuju dengan Abu Hazim, namun saya juga memaklumi mungkin penulis ingin membuat untaian kata-kata indah menggugah dengan teknik dialog imajiner. Sayangnya yg dijadikan imajinasinya adalah Allah sehingga dia tidak melihat peringatan ayat Al-Qur’an sebagaimana yg dikemukakan oleh Sdr. Abu Hazim.
Marilah kita sama-sama memohon ampun kepada Allah Swt, krn bagaimanapun manusia tidak luput dari kesalahan.
assalaamualaikum wr.wb
Assalamu’alaikum. Saya agak kaget juga waktu baca, antara bingung dan ragu2. Biasanya yg berharap itu adalah hamba kepada Sang Pencipta yaitu Allah SWT, lha di surat sayang dari Allah SWT di atas kok malah sebaliknya ya…??? Perlu hati2 juga nih baca tulisan2 yang gak jelas dasarny, soalnya kalau yg baca paham baik dengan Islam sih oke2 saja karena bisa memilah2 dan menyimpulkan dengan baik tp kalau sampai terbaca sama orang2 yang masih sangat buta dengan Islam bisa lain ceritanya…
Apapun maksud penulis sajak diatas, yang jelas berdampak pada diri saya, saya merasa tergetar, saya merasa sangat bersalah, saya merasa sangat kurang berterima-kasih, saya merasa sangat menyia-nyiakan, semua anugerah, rahmat, karunia dan hidayah yang selama ini telah dilimpahkan olehNya kepada saya dan keluarga. Astaghfirullah alladzim. Salah satu cara mengingatkan kita semua agar ingat kepadaNya. Saya pribadi sangat setuju dengan cara dakwah yang seperti ini, yang penting tepat sasaran mengetuk hati siapapun yang membacanya. Seperti halnya cara-cara para Wali Sembilan dahulu. Terimakasih kepada mas Jauhari. Hanya Allah SWT yang berhak menilai kita. Teruskan berdakwah, insya Allah, Dia meridloi Anda.
“Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
Kepada Al Akh Hidayah
Supaya saya tidak berpanjang lebar (lagi)
sudilah kiranya antum membaca komentar pertama untuk atikel ini
yaitu pada: 3 July, 2009 at 7:43 am
Singkatnya:
Artikel ini menceritakan sesuatu tentang Allah Ta’ala, yang penulis dan kita sama sekali tidak tahu, apakah Allah benar-benar berkata dan berpikir seperti yg diceritakan (berbicara dgn kalimat yg diceritakan, berpikir seperti pikiran yg diceritakan)
Padahal perintah Allah kepada kita, hamba-hamba-Nya, sudah jelas:
“Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
[QS Yunus, 10:68]
Sedangkan perkataan antum:
===
Saya pribadi sangat setuju dengan cara dakwah yang seperti ini, yang penting tepat sasaran …”
===
Ya akhi
niat yg baik, untuk sasaran yang tepat,
harus juga dijalankan dengan cara yg baik
Tidak tepat jika kita lebih mementingkan
“yang penting tepat sasaran”
tetapi tidak memperhatikan, apakah caranya tepat atau tidak?
Artikel ini jelas tidak menunjukkan kejujuran
bahkan cenderung bercerita bohong, mengenai Allah.
Penulis tidak sanggup menunjukkan bukti
kapan dan dimana Allah berkata dan berpikir seperti yg penulis ceritakan.
Apakah dengan cara berbohong dan cerita yg dibuat-buat
maka dakwah akan diterima oleh Allah?
Padahal Allah telah berfirman
“Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
[QS Yunus, 10:68]
Apakah boleh
kita menafkahi istri-anak dan orang tua
(nafkah yang tepat sasaran)
tetapi mencari rezeki dari merampok?
Jelas antum tidak akan setuju
walaupun uang perampokan itu
jelas-jelas untuk tujuan baik dan tepat sasaran,
yaitu menafkahi istri-anak dan orang tua.
Demikian nasihat dari ana
untuk ana sendiri dan untuk kita semua
Wallahu’alam
Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
assalamu’alaikum wr wb
aku sependapat dengan Abu Hazim…
(cozy)
sebagai umat muslim kita hrus tahu yang mn yg salah dan yng bnar..
jadi monggo yg salah diperbaiki dan yg bnar jganlah smbong..
jngan mau menang sendiri.. (bye) (bringit)
syukron
MasyaAllah.sedih ana bacanya.kosong tak berarti. tak berdasar. Tidak ada dalilnya dalam Qur’an dan Hadist. NOL
astagfirullahalazim << maap kalo tulisannya salah
untung yang kasih comment bagus2x
bahaya juga sih menurut saya kalo maen tulis2x aja tentang allah
Assalammualaikum Wr. Wb.
Perkataan Allah yang sebenarnya terdapat di dalam Al-Quran. Masing-masing orang memiliki penafsiran. Tentunya penafsiran tersebut tidak disampaikan dengan bahasa yang sama dengan yang disampaikan oleh Allah di dalam Al-Quran, kalau kita mengucapkan sama apa yang disampaikan Al-Quran, tentunya itu bukan penafsiran namanya. Sepanjang penafsiran tersebut berpandangan positif terhadap Allah, alangkah lebih baiknya jika kita mendukung pendapat tersebut. Kesimpulannya, dalam hal ini saya berupaya untuk memandang dari sudut pandang yang positif, yaitu tentunya penulis “Surat Sayang dari Allah SWT” berusaha untuk menafsirkan kata-kata yang telah diucapkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran melalui penafsiran/bahasanya sendiri agar lebih menyentuh kepada tujuan dakwah tersebut.
Wa’alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Agar pembahasan tidak melenceng
kembali saya tidak bosan-bosannya
mengajak kita semua untuk merenungi firman Allah Ta’ala, yang artinya:
“Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini.
Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui?”
[QS Yunus, 10:68]
Dan kalau kita mau jujur terhadap diri sendiri
artikel penulis diatas
penuh kata-kata yang menggambarkan mengenai Allah,
bahwa Allah telah melakukan ini dan itu,
yang penulis dan pembaca,
tidak mengetahuinya secara pasti,
apa benar begitu?
karena itu semua hanya rekaan dan khayalan penulis semata.
Shadaqallahu, Maha Benar Allah,
ketika Dia berfirman (artinya):
“Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini.”
[QS Yunus, 10:68]
Penulis tidak mempunyai hujjah
penulis tidak mempunyai bukti
penulis tidak mempunyai dalil
tentang apa yg dia tulis sendiri
bahwa Allah berpikir begini dan begitu.
Saya mengingatkan diri saya
dan mengingatkan penulis serta pembaca
untuk senantiasa takut, tanpa sengaja
berdusta atas nama Allah.
Jangankan berdusta atas nama Allah, Sang Khalik,
berdusta atas nama Manusia paling mulia saja
tidak boleh.
Coba kita perhatikan hadits berikut, artinya:
Dari Abi Hurairah, ia berkata:
Telah bersabda Rasulullah ‘alayhi shalatu wasallam,
“Barangsiapa yang membuat-buat perkataan atas (nama)ku yang (sama sekali) tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka”.
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Ibnu Majah (No. 34) dan Imam Ahmad bin Hambal (2/321))
Rasulullah mengancam kita
agar kita tidak berdusta atas nama beliau,
maka lebih utama lagi
bahwa kita dilarang pula untuk berdusta
atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kemudian,
izinkan saya menasihati pernyataan:
—
Masing-masing orang memiliki penafsiran.
—
Kalau demikian
maka ketika ada 10 orang
maka akan ada 10 penafsiran
jika ada 1000 orang
maka akan ada 1000 penafsiran
dan penafsiran yang satu sangat mungkin untuk bertentangan dengan penafsiran yang lainnya
Lalu penafsiran siapa yang kita ambil?
Apakah penafsiran yang “cocok dengan saya”?
Sungguh Allah telah menyatakan
bahwa yang berhak menafsirkan Al Qur’an
adalah Rasulullah shallallahu ‘alayhi wassalam
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an,
agar engkau menerangkan kepada ummat manusia
apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan supaya mereka memikirkan.”
[QS An-Nahl: 16:44]
Dan Ulama Ahli Tafsir
Ulama besar, Al Hafidz Ibnu Katsir, rahimahullah
menulis dalam mukaddimah tafsirnya, yang intinya:
===
Urutan jalan yang paling benar dalam menafsirkan al Qur’an adalah:
1. Al Qur`an ditafsirkan dengan al Qur`an.
2. Wajib meruju’ kepada as Sunnah (Hadits-hadits shahih), karena ia merupakan penjelas bagi al Qur’an.
3. Meruju’ kepada perkataan para Shahabat. Karena mereka memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih. Terutama Khulafaur Rasyidin, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan lainnya.
4. Banyak para Imam meruju’ kepada perkataan Tabi’in dan Tabi’ut tabi’in.
5. Adapun menafsirkan al Qur’an semata-mata hanya dengan fikiran (akal), maka (hukumnya) haram”. [Tafsir al Qur`anul Azhim, Muqaddimah]
===
Sedangkan untuk pernyataan:
—
Sepanjang penafsiran tersebut berpandangan positif terhadap Allah
—
Apakah kedustaan dan kebohongan terhadap Allah
adalah hal yang positif?
Bukankah justru kejujuran terhadap Allah
merupakan hal yang ‘lebih’ positif
dan sangat mudah untuk kita lakukan?
Apakah sebegitu sulitnya bagi kita
untuk berkata-kata jujur dalam dakwah
dan meninggalkan kedustaan?
Wallahul musta’an
Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan.
…
Dan untuk pernyataan:
—
Penulis “Surat Sayang dari Allah SWT” berusaha untuk menafsirkan kata-kata yang telah diucapkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran
—
Apakah penulis menjelaskannya?
dan apakah kita tahu
ayat-ayat mana yang penulis tafsirkan?
surat apa yang ingin penulis tafsirkan?
dan perkataan Allah di Kitab mana,
yang penulis coba tafsirkan?
“Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini.”
[QS Yunus, 10:68]
…
Kemudian, pernyataan
—
agar lebih menyentuh kepada tujuan dakwah tersebut.
—
Coba kita sama-sama renungkan
dengan hati yang ikhlash dan tulus
apakah cara-cara berdusta, akan lebih menyentuh daripada perkataan-perkataan jujur?
Terkahir,
kembali saya mengajak diri saya
mengajak penulis dan semua pembaca
untuk berdakwah dengan perkataan jujur
dan dengan cara-cara yang jujur.
Dakwah adalah kebaikan
dan kebaikan tidak layak didapatkan
kecuali dengan cara-cara yang baik pula.
Demikian nasihat dari saya
untuk saya pribadi dan kita semua
Wallahu’alam bishawab
Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
menurut saya sah2 saja, sepanjang niat nya adalah untuk yg baik, Allah tentu maha tahu, dan spt terteqa di salah satu hadits qudsi..Allah adalah sesuai prasangka hambanya..dgn tujuan baik pasti Allah menerimanya..insyaallh
Assalamu’alaykum
Supaya tidak melenceng dari pembahasan
izinkan saya kembali mengutip ayat Allah,
Perintah Allah, Kalamullah
yang artinya:
“Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
[QS Yunus, 10:68]
Dan marilah kita renungkan perintah Allah Ta”ala tersebut.
Apakah tidak cukup?
Allah telah memerintahkan
agar kita tidak berkata-kata terhadap Allah, tentang Allah, sesuatu yang tidak kita ketahui.
Jawaban kita?
Kami mendengar dan kami taat.
Maka untuk menasihati, kita bisa dan sangat bisa
untuk berpuisi, bersajak, tetapi tidak perlu mengandung kebohongan, apalagi tentang Allah Ta’ala.
Insya Allah sangat mudah untuk menasihati, dengan menggunakan sajak dan puisi, yang berisi kebenaran dan kejujuran.
Masalah niat baik saja,
sudah saya singgung dalam komen pertama saya:
—[kutipan 1]—
Walaupun penulis awal artikel “Surat Sayang dari Allah SWT”
mungkin mempunyai niatan yg sangat baik
namun niat yg baik
harus juga dijalankan dengan cara yg baik
(Tidak boleh orang melakukan perampokan dan pencurian
dengan niatan baik, “menafkahi anak dan istri”)
—[kutipan 2]—
Bolehkah kita berkata:
“Pak RT menghimbau
agar penduduk RT sekitar sini
diharapkan agar mengumpulkan 10.000 rupiah per kepala
yg semuanya akan disedekahkan kepada fakir miskin di RT sebelah.”
Padahal Pak RT sama sekali tidak pernah berkata demikian.
Kalaulah berdusta atas nama Pak RT saja tidak boleh,
apalagi berdusta atas nama Allah.
—[Akhir kutipan]—
Niatan agung untuk menafkahi anak istri,
niatan luhur untuk menyantuni fakir miskin,
tidak boleh dilakukan dengan cara yg buruk
apakah dengan cara berbohong, menipu, merampok atau mencuri.
Demikian juga, niat baik untuk menasihati kaum muslimin, agar senatiasa mendirikan shalat,
tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak baik,
apakah dengan menipu atau berbohong.
Demikian nasihat untuk saya dan antum semua.
Wallahu’alam
Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Kalaulah berdusta atas nama Pak RT tidak boleh…
ya jelas… karena Pak RT “tidak pernah” menghimbau utk mengumpulkan 10.000 rupiah per kepala, terus dikarang-karang ada… itu “benar”
dalam puitisasi ini, tidak menggambarkan demikian… coba anda baca kembali… dgn kenyataan akan perintahNYA.
itu PUITISASI bung… SYAIR… kalau semua diartikan secara harfiah seperti bung inilah jadinya… piss (lmao) ..!
Apakah dalam Syair atau untuk memPUITISASI dibolehkan berbohong?
Apakah dakwah dengan syair
yang berisi kebohongan adalah cara seorang muslim?
cara dakwah seorang mu’min?
Insya Allah dakwah dengan syair
yg berisi kejujuran akan lebih baik.
Wallahu’alam
bagoooooooossss
.-= cahyo´s last blog ..Lirik Avenged Sevenfold – We Come Out At Night =-.
“Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
Assalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Izin memberikan masukan
Allah Ta’ala berfirman
yg artinya:
“Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempuyai anak.” Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang di bumi. Kamu tidak mempunyai hujjah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
[QS Yunus, 10:68]
Allah mengingatkan bahwa
ketika orang Yahudi dan Nasrani
berkata bahwa “Allah mempunyai anak”
Maka sesungguhnya mereka telah berdusta atas nama Allah.
Mereka mengatakan Allah telah begini dan begitu
(menurut persangkaan dan tebak-tebakan mereka)
padahal Allah tidak demikian.
Maka hendaknya kita
sebagai kaum Muslimin
tidak juga mengikuti langkah-langkah Yahudi dan Nasrani
antara lain dengan mengatakan
Allah telah begini dan begitu
berdasarkan khayalan, tebakan dan persangkaan
Walaupun penulis awal artikel “Surat Sayang dari Allah SWT”
mungkin mempunyai niatan yg sangat baik
namun niat yg baik
harus juga dijalankan dengan cara yg baik
(Tidak boleh orang melakukan perampokan dan pencurian
dengan niatan baik, “menafkahi anak dan istri”)
Maka demikian pula
niatan yg baik untuk menasihati kaum muslimin agar ingat kepada shalat
hendaknya juga dgn cara2 yg baik
antara lain dengan menyampaikan ayat Al Qur’an dan hadits2 shahih
atau artikel para Ulama
Dan lebih baik dihindari cara2
yg (ternyata) menipu
antara lain:
1. “Surat Sayang dari Allah”. Dimana suratnya? Di Zabur? Taurat? Injil? Shuhuf Musa? Shuhuf Ibrahim? Al Qur’an? Surat dan ayat yg mana?
2. Menulis bahwa Allah berkata demikian, padahal kita tidak tahu apakah benar Dia telah berkata demikian
3. Menulis bahwa Allah berpikir demikian, padahal kita tidak mempunyai bukti bahwa Dia memang berpikir demikian
dll
Bolehkah kita berkata:
“Pak RT menghimbau
agar penduduk RT sekitar sini
diharapkan agar mengumpulkan 10.000 rupiah per kepala
yg semuanya akan disedekahkan kepada fakir miskin di RT sebelah.”
Padahal Pak RT sama sekali tidak pernah berkata demikian.
Kalaulah berdusta atas nama Pak RT saja tidak boleh,
apalagi berdusta atas nama Allah.
Sekali lagi
mari kita renungkan lagi Firman Allah yg artinya:
“Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?”
[QS Yunus, 10:68]
Wallahu’alam
Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Bagi saya, surat sayang dari Allah itu begitu menusuk qalbu dan menyentuh perasaan. Bahkan Allah SWT itu sifat-Nya Maha Menyayangi Lagi Maha Mengasihani. Dia mengasihi dan menyayangi bukan untuk menambah kerajaan @ kekuasaan-Nya, tetapi adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Adakalanya, manusia itu tidak minat untuk mendengar dakwah yang terus direct dari Al-Quran bahkan mungkin langsung tidak pernah membaca Al-Quran tersebut. Jadi perlukan sesuatu cara yang agak berlainan untuk menyampaikan dakwah (secara sindiran). Saya percaya penulis surat sayang tersebut tidak berniat langsung untuk menghinakan Allah SWT. Tetapi dengan niat yang tulus ikhlas cuba untuk menyampaikan dakwah. Mungkin ramai yang rasa teringin untuk membaca surat tersebut, bila mendengar tajuknya sahaja. Ada sedikit rasa pelik mungkin terlintas di hati, jadi membuka minat untuk membaca. Apa yang penting, dakwah dapat disampaikan. Kerana saya percaya, tidak ramai yang mahu membaca Al-Quran. Jadi diulangi, perlu sedikit cara yang berlainan tapi berkesan untuk menyampaikan dakwah. Segala salah silap yang tidak disengajakan, saya mohon ampun dari Allah SWT. Diucapkan juga Selamat Hari Raya, maaf zahir dan batin
Assalamu’alaykum
Saya setuju dengan pernyataan:
—
“Jadi perlukan sesuatu cara yang agak berlainan untuk menyampaikan dakwah (secara sindiran).”
—
Tapi, apakah “cara yang agak berlainan” itu boleh dengan dengan cara berbohong?
apakah dengan cara berdusta?
Tentu tidak dengan cara itu.
Bagaimana mungkin Allah ridha
jika kita berdakwah dengan cara berdusta dan berbohong? Suatu cara yang haram.
Pasti Allah tidak akan ridha.
Saya setuju juga dengan pernyataan:
—
“Saya percaya penulis surat sayang tersebut tidak berniat langsung untuk menghinakan Allah SWT. Tetapi dengan niat yang tulus ikhlas cuba untuk menyampaikan dakwah.”
—
Penulis mungkin tidak sadar
bahwa cara dia berdakwah dengan mengarang cerita
dusta adalah tidak benar.
Penulis hanya berharap, semoga orang tertarik dan tersentuh dengan membacanya.
Padahal tidak cukup dengan hanya ” agar orang tertarik dan tersentuh”, tetapi hendaknya berdakwah dengan cerita bohong dan dusta harus dihindari.
Dan juga, hanya dengan niatan tulus ikhlas
tanpa disertai cara yang benar,
tidak cukup dalam beramal shalih.
Seperti yang saya contohkan:
Seorang suami yang tulus ikhlas mencari nafkah untuk anak istrinya, tidak boleh dengan cara mencuri atau merampok.
Hendaknya dia mencari nafkah dengan tulus dan ikhlas melalui cara yang halal dan baik.
Sedangkan perkataan:
—
“Apa yang penting, dakwah dapat disampaikan.”
—
Perkataan ini bisa menjerumuskan
karena bisa saja dengan perkataan ini, seseorang menhalalkan segala cara, untuk mencapai tujuan, yang menurutnya baik.
Seperti seseorang yang mencuri atau merampok berkata:
“Apa yang penting, nafkah wajib kepada anak istri dapat ditunaikan.”
Apakah benar demikian?
Tentu tidak benar.
Maka selain dakwah disampaikan, maka cara berdakwah pun harus dengan cara yang benar
antara lain dengan jujur dan lemah lembut.
Maka izinkan saya menambahkan dalam pernyataan terakhir:
—
“Perlu sedikit cara yang berlainan tapi berkesan untuk menyampaikan dakwah”
—
“Yaitu dakwah yang tetap mengutamakan kejujuran, dan menghindari segala macam dusta serta kebohongan.”
Wallahu’alam bishawab
Wassalamu’alaykum warahmatullah