menanggapai pro kontra idul adha berikut saya kutipkan milist tetangga:

> Rasulullah saw. telah memberikan petunjuk praktis kepada kita
>mengenai cara pengambilan keputusan penetapan hari-hari manasik haji
>dan ‘Idul Adha dengan sejelas-jelasnya. Ini dapat kita lihat dari
>sebuah hadits dari Husain bin Al Harits Al Jadaly ra. yang
>menyatakan:
>

> “Bahwa Amir (gubernur di masa Rasul) Makkah berpidato dan
>menyatakan bahwa: `Rasulullah saw. memerintahkan kita agar memulai
>manasik (haji) berdasarkan ru’yah. Jika kita tidak melihatnya
>sementara ada dua orang yang adil menyaksikan (munculnya bulan) maka
>kita harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang itu'”. (HR Abu
>Dawud).
>
> Hadits ini menjelaskan tentang penetapan hari Arafah dan hari-hari
>ibadah haji seluruhnya –pada masa adanya Daulah Islam– hanya
>dilakukan oleh gubernur Makkah. Hal tersebut berdasarkan perintah
>Nabi saw. kepadanya yaitu agar memulai manasik haji berdasarkan
>ru’yah.
>

Nadir:
Hadis di atas layak dibahas lebih lanjut. Sunan Abi Dawud
meriwayatkan hadis tsb dalam bab “puasa”, dan dalam sub-
bab “kesaksian dua lelaki dalam me-ru’yat hilal syawal”. Ini saja
sudah menimbulkan kerancuan. Kalau hadis di atas dipahami dalam
konteks ibadah haji, mengapa Imam Abu Dawud tidak meletakkan hadis
tsb dalam bab Haji?

Kontroversi muncul akibat kata n-s-k yang dua kali disebut dalam
matan hadis tsb (an nansuka ?dan nasakna). Pengarang ‘Aunul Ma’bud
memahami kata tsb sebagai manasik haji, sedangkan ulama lain
(misalnya pengarang Nailul Awthar) memahaminya sebagai ibadah, yaitu
puasa Ramadhan. Penjelasan ‘Aunul Ma’bud memang membingungkan. Selain
menganggap hadis ini bicara manasik haji, kata ru’yat dalam matan
ini –yang dipahami oleh Imam Abu Dawud sebagai ru’yat hilal syawal–
digeser artinya sebagai ru’yat hilal zil hijjah. Penjelasan spt ini
ditolak oleh ulama lainnya.

Jadi, menurut sebagian ulama, hadis di atas tidak bisa digunakan
sebagai argumen untuk menaati keputusan Amir Mekkah dalam hal Idul
Adha. Hadis ttg bulan Ramadhan kok mau dijadikan justifikasi untuk
Idul Adha? Begitu kira-kira jalan pikiran kelompok ini.

Di Indonesia, meskipun NU dan Muhammadiyah berbeda dalam hisab-ru’yah
namun mereka sepakat bahwa Idul idha itu bersifat lokal. Untuk
menentukan tgl 10 zulhijjah, maka harus tahu tanggal 1-nya. Dan
tanggal 1 Zulhijjah itu bersifat lokal alias bisa berbeda-beda
tergantung posisi bulan di masing-masing negara (sesuai dengan hisab
atau ru’yahnya). Kalau terjadi perbedaan dalam menentukan tgl 1 maka
tgl 10-nya juga berbeda.

Walhasil, Idul Adha, seperti Idul Fitri, berbeda-beda waktunya di
berbagai negara. Mereka berpendapat tidak ada hubungan antara wukuf
tgl 9 dengan Idul Adha tgl 10 di Saudi. Wukuf memang berkaitan dengan
hari arafah (dan tempatnya di Saudi Arabia) sedangkan Idul Adha
dilaksanakan tanggal 10 di seluruh dunia [tidak terikat pada
pelaksanaan Idul Adha di Saudi]. Berbeda dengan wukuf, Idul Adha itu
ibadah yang tidak terikat dengan tempat tertentu.

Ada kelompok lain (Dewan Dakwah Islamiyah, Partai Keadilan Sejahtera,
Hizbut Tahrir dan yang lainnya) memandang bahwa Idul Adha itu
bersifat global alias mengikuti ketentuan Pemerintah Saudi. Menurut
mereka, untuk tahu tgl 10, maka harus tahu tgl 9 Zulhijah. Nah,
karena 9 Zulhijah itu hari Arafah, maka mereka mengikuti keputusan
pemerintah Saudi akan kapan hari arafah itu. Patokannya sederhana,
satu hari setelah wukuf di Arafah adalah Idul Adha.

Konsekuensinya, meskipun tgl 1 Zulhijah di Australia, di Jerman dan
di belahan lain berbeda dengan tgl 1 Zulhijjah di Saudi (karena
perbedaan posisi bulan di masing-masing negara itu), namun tanggal 10
Zulhijahnya “tiba-tiba” jadi sama. Untuk lebaran haji ini mereka
tidak pakai hisab dan ru’yah, pokoknya ikut saja apa keputusan Saudi.
Akhirnya kalender mereka jadi membingungkan: utk 11 bulan lainnya
mereka ikut peredaran bulan di lokasi masing-masing, tapi khusus
bulan Zulhijjah mereka ikut kalender Saudi. Boleh jadi di sebuah
negara bulan zulqaidah baru tgl 28, tapi karena memaksa diri ikut
Saudi, keesokan harinya lansgung lompat ke 1 Zulhijjah [padahal
jumlah hari dlm 1 bulan harus minimum 29). Atau sebaliknya, boleh
jadi ada negara yg menurut hisab atau ru’yah lokal sudah masuk tgl 1
Zulhijah, tapi terpaksa mundur menjadi tgl 28 atau 29 Zulqaidah; atau
mereka sudah masuk tgl 9 Zulhijah tapi “terpaksa” mundur sehari jadi
8 Zulhijah. Ini semua dilakukan agar 10 Zulhijah bisa sama dengan
kalender Saudi.

BTW, pernah terlintas nggak dibenak kita bahwa siapa tahu Saudi
yang keliru menetapkan Rabu sebagai hari wukuf? Di saat posisi bulan
secara astronomis tidak mungkin kelihatan, namun ada yang mengaku
bisa melihat bulan. Boleh jadi bulan yang dilihat adalah bulan yang
berwarna merah jambu seperti lagu Kla Project:-) Kalau pemerintah
Saudi tidak kenal dengan Kla Project, mungkin mereka kenal dengan
Imam al-Subki yang mengatakan: andaikata semua ahli hisab telah
sepakat bhw bulan tidak mungkin dilihat, dan kemudian ada yg mengaku
melihat bulan, maka kesaksiannya harus ditolak.

Mungkin ada yang mau klik
http://www.ummah.net/moonsighting/fatawah.htm
dimana akan ditemukan sejumlah fatwa yang mendukung
lebaran lokal termasuk dari ulama Saudi sendiri yang meminta negara
lain tidak ikut Saudi. Mungkin untuk pendukung lebaran lokal motto
mereka adalah “think globally, act locally” :-)

Menurut saya, keputusan NU, MUI, Muhammdiyah dan Depag untuk
berlebaran haji menurut hitungan atau ru’yah lokal sudah tepat.
Sementara kalau ada yang mau kalendernya “tiba-tiba” di-adjust dg
kalender Saudi khusus utk 10 Zulhijah ini, ya silahkan saja :-)
Wa Allahu a’lam bi al-shawab

salam hangat,
=nadir=

0 Shares:
8 comments
  1. Bagaimana mungkin menggunakan referensi tanggal yang ditentukan berdasarkan International Date Line sebagai acuan untuk menyamakan penentuan tanggal 1 Dzulhijah bagi seluruh dunia?

    Saudi Arabia berada pada peta waktu GMT+3, sehingga ketika jamaah haji sedang berada dipuncak wukuf hari Senin jam 12 siang di Arafah, maka di Fiji (GMT+12) sudah jam 9 malam, dan di Hawai (GMT-11) masih hari Minggu jam 10 malam. Setelah maghrib, memasuki tanggal 10 Dzulhijah di Mekah, sekitar jam 6 sore, di Fiji sudah Hari Selasa jam 3 pagi, dan di Hawai jam 4 pagi hari Senin.

    Kapan orang Islam di Fiji dan Hawai berpuasa Arafah, apakah hari Senin ataukah Selasa? Kapan pula mereka ber-Idul Adha?

    Kalau mereka sama2 puasa Arafah hari Senin dan ber-Idul Adha hari Selasa, maka ketika orang Islam di Hawai berpuasa Arafah, maka di Mekah sudah masuk tanggal 10 Dzulhijah dan orang Islam di Fiji sudah takbiran Idul Adha ketika jamaah haji masih wukuf di Arafah.

    Apakah ada yang bisa menjawab ini?

  2. ng usah ribet pengambil keputusan yg paling bertanggung jawab. yg penting jgn lupakan yang WAJIB. Swn.

  3. Wah anda masih keliru dlm memahami sistem kelender islam / Qomariyah. Secara astronomi dan sdh menjadi kenyataan ternyata hilal terjadi hanya sekali di suatu daerah pd bujur tertentu di bumi ini. Fenomena ini sesuai dgn hadits nabi yaitu:
    “Berpuasalah kalian karena telah meru’yat hilal (mengamati adanya bulan sabit), dan berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah meru’yat hilal. Dan jika terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !”
    Hadits tsb berlaku bagi semua umat islam diseluruh dunia dan tdk memandang batas2 negara. Dan ilmu pengetahuan ternyata telah membuktikan kenyataan hilal tsb dan tentu kita/umat islam tdk mau “ditertawakan” oleh umat lainnya krn ketidaktahuan akan kenyataan ini.

    Mohon diperhatikan pd hal2 yg sering membuat bingung umat islam bahkan utk seorang ulama besar sekalipun, yaitu:
    masuknya bulan qomariyah berdasarkan pergerakan bulan sedangkan waktu sholat (sholat lima waktu, sholat idul fitri, sholat idul adha) berdsrkan pergerakan matahari. Perbedaan ini sering menjadi salah penetapan tanggal qomariyah dan seharusnya bulan qomariyah diseluruh dunia serentak dimulainya pd waktu (jam, menit, detik) yg sama.

  4. Sebaiknya anda pelajari lagi ilmunya.

    Karena 1 dzulhijjah tidak pernah di perintahkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk melihat bulan karena itu agak lancang kiranya kita mempertanyakan pihak Saudi Arabia.

    Hajji sudah ditakdirkan di Mekkah bukan di Cililitan makanya pihak Arab Saudi terutama pemerintahnya adalah ulil amri yang patut diikuti dan ditaati. Bahkan semua tata cara hajji, termasuk penanggalan 9 dzulhijjah, Pemerintah Saudi Arabia yang harus, harus, harus diikuti kalo ngga mau silahkan aja buat hajji di Cililitan, terima kasih.

    1. Silahkan kan saja Ikut arab, tapi masalah waktu apa bisa sama pd tiap belahan bumi, dan hrs ingat sholat ID adalah 10 Dhulhijah, bukan 9 Dhulhijah, itu hrs paham dulu, tanya bukan berarti Lancang

  5. ass, ta,arufan nih ana udah dari sonohnya diberi nama abdi. ana anak paling bungsu. ya….ana baru berusia 16 tahun bentar lagi sweet seven teen gituu….! eh ana pingin banget ngobrol! istilahnyamah sharing, palagi ana suka seneng klo udah diajak ngobrol tentang dakwah islam./..wah, jadi suka inget ma perjuangan para pejuang islam nih

    1. • Fatwa Imam as-Syafi’i rahimahullah dalam kitab monumentalnya, Al-Umm, Juz I:261nomor: 441-442 : Idul Adha adalah hari dimana kaum muslimin sehari sebelumnya shaum yaum ‘Arafah tanpa ada jeda hari di dalam ‘asyru Zulhijjah.
      Semua nash hadits dan kitab-kitab mu’tabar menyebutnya dengan hari ‘Arafah atau shaum hari’Arafah. Sekali lagi adalah hari, dan sama sekali bukan tanggal.
      Lihat : Muslim [2:819] no.:1162; Abu Dawud [2:322] no.:2425; Turmudzi [1:144-145] no.:752; Nasa’i [1:344]; Ibnu Majah [1738, 1730], Imam Baihaqi [4:283], Imam Ahmad [5:296, 304, 307; Imam Thahawi [335, 338]. Dishahihkan oleh Syeikh Albani, sebagaimana dalam al-Irwa’ [4:111] no.hadits: 955]
      • Hasil Keputusan Mu’tamar Hay’ah Kibarul ‘Ulama di Saudi Arabia tanggal 13 Sya’ban 1392 H bertepatan dengan 21 September 1972 dengan dua keputusan utama :
      1. Beda mathla’ adalah sesuatu yang sudah diketahui secara pasti berdasarkan kenyataan empiri dan bukti rasional (hissan wa ‘aqlan). Dan tidak ada satu pun yang mengingkarinya.
      2. Dengan demikian beda mathla’, semata-mata adalah perbedaan sudut pandang teori yang bisa ditolerir atau dipadukan antara keduanya. Karena pada kenyataannya dunia ini ada syuruq (bagian timur, duluan pagi), ada ghurub (bagian barat, duluan maghrib).
      Dalam hal perbedaan mathla’, maka jumhur Ulama mengatakan bahwa “La ‘ibrah bikhtilafil mathali’ (tidak dianggap adanya perbedaan mathla’). Jika penduduk suatu negara sudah melihat hilal, maka hilal ini juga adalah hilal negara lain. Demikian pandangan Jumhur ulama seperti Hanafi, Malik, Ahmad, al Laits dan Syafi’i, sesuai keumuman hadits Abu Hurairah. Inilah Mathla’ Global.
      • Fatwa Syeikhul Azhar, Dr. Abdul Halim Mahmud Th.. 1975, (lihat sumber : Majalah An-Nadwah edisi 20 Desember 1975) memuat : “Wajib hukumnya bagi seluruh dunia Islam untuk berpegang pada penetapan hilal Zulhijjah di Mamlakah Saudi Arabia. Dan pelaksanaannya tidak terlalu sulit bilamana ada pihak yang beralasan pada perbedaan wilayatul hukmi (ikhtilafu’d-dawl al-islamiyah).”
      • Rabithah ‘Alam Islami melalui Sekjendnya, Yang Mulia Syeikh Muhammad Shalih Qazzaz tahun 1976 mendukung Fatwa Syeikhul Azhar (1975) melaui surat nomor: 1/6/1/5/45 tertanggal 25 Juli 1975 Perihal Itsbat Idul Adha dan mengirimkan salinan Fatwa itu kepada Allahyarham Bapak Mohammad Natsir, selaku anggota Majlis Ta’sisi dan Mudir Maktab serta Penasehat Umum Rabithah ‘Alam Islami.
      • Hasil kesepakatan KTT Konferensi Islam Internasional (OKI) di Istanbul-Turki tahun 1978 yang menyatakan perlunya mengikuti penetapan Makkah al-Mukarramah sebagai qiblat Idul Adha, di mana urutan keduanya tidak bisa dipisahkan.
      • Muktamar Aman/Jordan tahun 1984 dan Muktamar Al-Falaki Al-Arabi at-Tsani (II) di Aman tahun 1997 yang menetapkan standard Idul Adha adalah wukuf di ‘Arafah, bahkan ada keinginan dari banyak negara untuk menjadikan Mekkah sebagai markaz penentuan itsbat, untuk menyudahi fase pertentangan penetapan hari raya Idul Adha.

      MANA KOMITMEN KITA …………………………

      1. akhi, arafah itu kaitannya dengan pelaksanaan haji, bukan dengan idul adha, karena hadits Nabi menyatakan, “alhajju ‘arofah” apa yang dimaksudkan antum bahwa yang dimaksud ‘arofah itu bukan tanggal tetapi hari, menurut ana sama saja, sebab tidak ada yang disebut hari tanpa tanggal. kalau antum katakan pemahaman seperti itu juga lalu apa yang mendasari hal itu, bahwa hari itu berbeda dengan tanggal. tidak sudah sejelas penetapan ‘arofah itu selalu diawali dari awal dzulhijjah, apakah hasil ru’yah itu terlihat atau tidak? kalau masalah satu mathla’ atau global mathla’ itu tidak bisa dipaksakan, harus adanya satu mathla, karena tuntutannya adalah bagaimana rasul perintahkan untuk mengetahui dari hasil ru’yah juga, sebagaimana dalam hadits yang dikeluarkan oleh Imam Muslim riwayat dari Kuroib, bahwa salah satu sahabat Nabi dalam penetapan romadhan berbeda antara Madinah dan Syam, dengan alasan dari hasil ru’yah tsb.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You May Also Like

Selamat Jalan Paman Gober

Banyak Kisah sedih dan kisah bahagia ketika dia (Soeharto) memimpin negeri ini, terlepas dari itu semua, Sudah kewajiban saya…

Lupa Perpanjang Domain

Lupa Perpanjang Domain; Ceritanya dan Intinya Beberapa waktu yang lalu Domen ini yaa JAUHARI.net ini ternyata Habis Masa Pinjamnya…

Syahida: Life for Others

Syahida adalah sebuah nama klan kalau boleh dibilang seperti itu. Syahida adalah keluarga besar dari keturunan Bani Syahidi,…